Sudah mendekati
lebaran, seperti tahun-tahun sebelumnya kesepakatan antar kelurga untuk
mengunjungi tao toa di kampung, kareang panri, kakekku. Dari namanya saja sudah
tergambar beliau salah satu keturunan darah biru. Maka secara otomatis namaku
ditempelkan Andi. Entahlah, aku sendiri tidak begitu ambil pusing dengan
nama ini.
“Yang jelas namaku ada dan orang-orang memanggilku dengan namaku.” Jelasku pada teman-temanku.
“Kareng ita sudah
datang, disambutku antusias beberapa orang kampung.”
Dengan sedikit
punggung membungkuk dan kedua tangan bertautan, lalu menyalamiku.
“Iya,,,”
“Kareng..? geli juga dengarnya,
seharusnya mereka panggil kareang, ahh masa bodoh.” batinku
Habis menyelami beberapa tamu yang menyambt kedatanganku dari kota,
aku segera mengunjungi karaeng Panri. Kulihat tubuh tinggi nya tergeletak di
atas kasur bercorak Jawa, dibagian kepalanya ada dua bantal, Tongkat panjang
berwarna hitam, berkepala Naga berdiri kokoh di samping tempat tidurnya.
Kelopak mata masih tertutup dalam diamnya. Sedikit mulut terbuka. Kudekati dia
dan kukecup kening kerutnya, sedikit berkeringat. Ternyata itu membangunkannya.
Jadi merasa bersalah.
"Sudah datang,
tanyanya lirih"
"Iyya atta,,,"
"Ayah dan kakakmu
mana?"
"InsyaAllah besok
datang."
Sudah kuduga, kalimat itu pasti keluarga dari mulutnya. Kami memang
keluarga yang sangat sibuk, tinggal di kota metropolitan membuat kami kadang
ogah pulang kampug sering. Bukan karena tak sayang, karena kesibukan. Ayahku
seorang pengusaha real estate di Jakarta, memiliki tambang di kalimantan, dan
kebun teh di Malino. Kakakku melanjutkan S2 di Jepang jurusan bisnis manajemen,
aku juga sibuk menyelesaikan tugas akhirku di UI jurusan bisnis, dan terkadang
juga membantu bisnis ayah yang ada di Jakarta. Ibuku, sudah meninggal akibat
komplikasi penyakit.
Kehidupan
moderniatas memaksa kami jarang bertemu dengan kakekku, Untunglah kami termasuk
keluarga yang tidak over caring tanpa memperhatikan orang tua. Walau hanya
bertemu setahun sekali, kami pasti menyempatkan menelpon beliau. Ayahku jangan
Tanya setiap bulan pasti menelpon atau mengirimkan hadiah-hadiah ke kakekku.
“Jangan pernah
lupakan orang tua, ridhonya adalah kesuksesanmu di dunia juga akhirat.”
Sore itu di temani
sepeda ontel klasik milik nenekku dulu.
Oh iya, nama nenekku karaeng Rannu, orangnya koro-koroang,
kontra dengan kakekku yang humoris. Teringat sekali kalau mereka
berbincang-bincang, tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba Karaeng Rannu moro-moro.
Lucu.
“Kusuka karena
nenekmu cantik dan kulitnya putih hahaha.” Kata kakeku tertawa
Kukayuh sepeda
antik ini, beberapa tetangga yang melihatku memanggil namaku
“Kaaaaraaenng
Itaaa,, minggaki eeee!!!!
“Iyaaa…!!!”
Balasku teriak,,,,
Kekeluargaan masih
terasa sekali di kampung ini, ucapan seperti ini sering terdengar, baik itu untuk
orang yang dikenal maupun tidak. Suasan desaku tidak jauh berbeda dari
tahun-tahun sebelumnya, kecuali beberapa bangunan rumah penduduk yang mulai bertambah.
peluh membasahi kerudung kremku, aku berhenti di salah satu toko, lalu membeli
sebotol air putih. Segar! Sore ini tujuanku sudah tercapai, naik sepeda ontel
milik nenek sambil melihat kabupaten herlang.
Esok harinya, ayah
dan kakaku tiba, melalui rute Gowa-maros-Takalar-Jeneponto-Banteang-Bulukumba
melewati 6 kabupaten cukup melelahkan bagi mereka. Sama halnya dengan
kedatanganku pertama kali beberapa tetangga menyempatkan diri bertandang,
menyalami tamu agung mereka. Penduduk kampung memang rasa penasarannya tinggi
untuk hal-hal yang berbau kota. Penampilan, itu yang menarik.
“Tetta mana
nak?”
“Di kamar yah.”
Mereka langusng
berjalan memasuki kamar disusul kakak juga aku. Kebetulan saat itu tetta
bangun, saudara perempuan ayahku dan satu anak kecil tetangga shift berada di
sampingnya.
“Tetta,,,
bagaimana kabarnya? Ayah meraih tangan teta lalu mengecupnya, kakaku juga
ikutan.”
“Alhamdulillah
Baik nak,,?”
“Sudah tiga
tahun anakta tidak pulang karena sibuk tetta, minta maafka”
“Tidak apa-apa
nak, tetta paham, anak sibuk, dan bersyukur anak tidak lupa dengan tetta walau
sukses di luar sana.” Jelasnya
Penghuni kamar
ikut haru melihat pertemuan anak dan ayahnya, ayah adalah anak yang paling di
sayang oleh karaeng Panri, di antara empat saudara lainnya. Baktinya yang
tinngi semasa muda hingga sekarang membuat cinta mereka mekar bagaikan bunga.
“Tetta beri
nasehat buat anak, makin sukses makin taat pada orang tua, anak beri kebaikan
bagi banyak orang untuk cari pahala, tidak usah jauh-jauh, cukup anak berbakti
kepada orang tua”
“Iya tetta.”
Karaeng panri menderita lumpuh setengah badan, entah apa
penyebabnya sudah lima tahun beliau berbaring di ranjang jatinya. Di rujuk ke
rumah sakit beliau tidak ingin pemikiran konservatifnya berkata, riwayatnya
akan cepat tamat jika berada di sana. Pendirinanya yang kuat, meluluhkan kami
semua.
Lampu-lampu terbang tampak indah di gelapnya malam, seakan-akan
berpesta. Tapi tidak untuk kami, malam tadi tadi karaeng panri sudah
berteriak-teriak kesakitan pada bagian perutnya, terbakar terasa. Raungannya
memekakkan malam, membuat rumah kayu ini dikunjungi beberapa penduduk desa. Teriakan
ini tentunya mengagetkanku, ini pertama kalinya aku melihatnya, sangat
mengerikan. Seakan-akan masa berlaku atta sudah di ujung tanduk.
“Aaaa,,,,ambilma
puangg….!!! Ambilma,,,!!!” Teriaknya kesakitan
“Istigfar, atta
astagfirullah astagfirullah!!! Tuntut saudara ayahku
Aku yang sedari tadi mematung melihat begitu mengerikan,
“Seperti ini kah bentuk tanda-tanda jiwa akan terbang bebas?” Batinku
Ku lihat ayah dan
kakak serta dukun yang berada di sampinyanya terus membantu mengucapkan
syahadat, mungkin menurut mereka inilah akhir hayat si Maha Kampung ini.
“Asss,,,,hadu alla
ilaha ,,,,illall,,,,,aaaa,,,,”
Seketika teriakan
dan ucapan syahadat terhenti seketika, benar dugaanku atta ku telah
meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya.
“Atta,,,
atta,,,uuuu,,uuu” tangis ayahku serta beberapa penduduk desa lainnya.
Embun hangat membasahi pipiku.
Berbalik badanku
kulihat dari kejauhan perkuburan tetta, gundukan pasir merah bata serta bunga
warna-warni menghiasai kuburanya. Apakah tetta bisa mendengar langkah kaki para
pelayat, atau apakah malaikat mungkar dan nakir sudah menghampirimu.
“Ita, ayo kita
balik !!!” teriak kakakku
“Ya,,,ya
kak.”
Kulangkah cepat
kakiku, namun ku berbalik sekali lagi dan seketika melihat bayangan putih
bercahaya memasuki perkuburan kakekku. Takjub serta takut hatiku.
“Ita ayoooo…!!!”
“Ya,,, yaaa…!!!”
“Semoga itu pertanda baik bagi atta.” Ucapku lirih sambil berlari meninggalkan perkuburan.