Halaman

Kamis, 27 Desember 2012

Cinta Merpati

Awalnya aku melihatnya bertengker di salah satu kandang putih, kagum melihat rupanya yang putih bersih, berdirinya yang tegap, kaki dan lehernya yang panjang, tonjolan hidung yang tebal dan besar. Ingin kuhampiri ia, bertegur sapa sesama spesis, bercengkrama dan mengetahui seluk beluknya, tapi aku punya misi khusus mengantar sepucuk surat kepada seseorang, jika ku tunda mengirimnya, ini membuatku terancam. Tapi jika melanjutkannya, mungkin esok ku tak melihatnya lagi, mungkin. Seketika sedih mencolek hatiku, kuurungkan niatku menghampirinya.  

Seperti biasa keesokan harinya aku ditugasi mengirim surat, dengan melalui rute yang sama, ku intip rumah itu, tapi sangkar putih yang terlihat, isinya entah kemana. Tertunduk ku menahan colekan pedih. Batinku berkata, mungkin ia tidak ditakdirkan untukku.

Hari demi hari terlewati dengan sesak di dada, berharap suatu hari si merpati cantik itu terlihat dan kami bisa bercengkrama. Ku tetap dengan  aktivitas suratku, yang merupakan kewajibanku. Pagi itu kulewati sekali lagi rumah itu lalu suka cita menghampiriku,  si cantik yang dulu kukagumi sekarang bertengker di dalam sangkar putihnya. Ku lihat ia semakin putih dengan bulu-bulu lebat. Colekan di hatiku berubah bahagia. Tapi aku belum bisa menghampirinya karena aktivitasku yang belum usai.

Semangat hidupku berada pada level maksimal, antaran suratku berjalan sangat lancar setiap harinya. Majikanku memuji level kecepatanku yang di atas rata-rata, walau memang merpati terkenal dengan kecepatan terbangnya.

Di pagi selanjutnya, majikanku memasukkanku ke sebuah sangkar berwarna putih, dikuncinya lalu di masukkanku ke dalam roda empat. Kekhawatiran memuncak takut kalau-kalau aku di kirim ke suatu tempat, yang akhirnya ku tak dapat melihat merpati cantik itu lagi. Tapi apa daya, ku hanya seekor merpati yang tak mampu melawan kekuatan fisik itu. Dari dalam roda empat itu, ku tatap kaca bening, ku mengenal rute jalan ini, rute antaran suratku melewati rumahnya, campuran perasaan tak karuan. Mobl berhenti di salah satu rumah, di angkatnya aku lalu melewati lorong-lorong, terlihat sebuah ruangan yang besar dengan ornamen klasik yang banyak, dibawanya ku tempat itu, dan diletakkannyaku di atas meja berukuran besar.

Sekian menit berlalu, sebuah langkah terdengar, terlihat sesorang berjalan sambil membawa sangkar berwarna putih, di dalam sangkar itu terlihat burung yang sangat ku kenali, dialah merpati yang selama ini kuperhatikan. Orang itu lalu meletakkan sangkarnya di hadapanku, sangkarnya dan sangkarku kini berhadapan. Perasaan was-was ku berubah menjadi bahagia tak karuan.

Untuk pertama kalinya kulihat ia menatapku dan berbicara, ia jelaskanlah rangkaian peristiwa-peristiwa terskenario ini. Ia juga memperhatikanku di saat pertama kali ia melihaku pada hari yang sama, lalu dicari tahulah seluk beluk si merpati pos ini. Kebahagiaan menyelimutiku, tak diayal takdir mempertemukanku.  Kulihat ia berdiri kokoh sambil menatapku lekat-lekat, kutahulah ia berharap menjadi bagain dariku. 

Rindu Wanita Itu

Keranjang persegi panjang membentang di ruangan gelap, kamar seluas lima kali lima.  Ukuran ruangan yang lumayan besar dibentengi dengan dua jendela bening berhorden biru langit. Sudut kamar dekat dua jendela bening berdiri payung lampu, terangnya agak sayu. Mungkin, di setting untuk lampu malam.

Anak berusia satu tahun lebih berada di kamar seorang diri. matanya masih membelalak padahal sudah masuk waktu dini. Pandangannya lurus menjurus ke langit-langit kamar, beberapa waktu mengoyang-goyangkan bola mata hitamnya. Seakan-akan mencari sesuatu yang hilang.

Air nampak berjatuhan membasahi bumi dari balik kaca bening kamar bernuansa biru langit, tapi berkesan gelap. Walau dibentengi beton kuat, ternyata udara mampu menembus dari pori-pori batu beton kamar, udara menyentuh kulit si anak mungil ini. Kaki yang tadi berhuruf A manyempit, tangan yang terlentang, didekapkan ke dada.

Bola matanya tiba-tiba bergerak dengan cepat, suara parau keluar dari mulut bibir tipisnya. Seakan-akan memanggil seseorang yang tiap malam menemaninya.

Dari arah kepala anak, seorang wanita muncul, menggendongnya lalu dibalutnya dengan selimut, hangat. Bola mata hitamnya kini terlihat sayu, sesayu lampu kamar, suara paraunya perlahan menghilang. Lalu terbanglah bayi ke dalam dimensi lain. Diletakkannya ia ke dalam keranjangnya, di pandanginya, lalu diusapnya kepalanya.  Wanita itu lalu berlalu secara perlahan seakan tak rela berpisah, wajahnya menyiratkan kesedihan mendalam tidak puas dengan pertemuan yang berkisar sekian menit. Wanita itu berbalik membelakanginya lalu berjalan menembus beton kamar yang padat.

Baju Hangat Mama


Dinginnya pagi menusuk tulang, semalam bumi menangis kata orang, tapi ini versi Inggris.
Menggulung bibir dan sesekali mengeretkan gigi.
Kotak putih bening berdampingan tembok beruap,
tak mau kalah der tee menempelkan uapnya jua.
Jemari nude menyentuh kaca bening yang dingin sambil mengusap-usap,
sesekali memberi uap pula dengan nafas.
Dari balik bening, pohon hijau berbentuk piramid tertutupi putih.
Jalan hitam jua tetutup putih bergumpal lebat.
Senyum sumringah.

Wanita tua bermantel gelap, bermata tua dan berkeriput. muncul dari memori,
membentangkan baju hangat, lalu melambai tangan, kemari.
Jejak-jejak kecil berbekas di putih bergumpal, dengan cepat ke wanita tua.
Menutupi tubuh mungil dengan baju hangat, cantik putih.
Menggendong si mungil lalu mendekap ke dada
Bagai film kartun, melayang love di sekeliling mereka.

Berjalan sedemikian meter, meraih baju si mungil di atas kasur
Ibu love you hangat bagai baju Hangat, bisik pemegang der tee.



Telepon Umum dan Mesin Ketik

Untuk pertama kalinya aku berada di sisi jalan beraspal, Aku ditakdirkan untuk memudahkan penikmat bagi tubuhku. Debu jalan dan bisingan kendaraan adalah makanan sehari-hariku. Siang itu seorang wanita muda menghampiriku, dariku dia berkeluh kesah ketidak nyamanannya bekerja sebagai sekretaris di salah satu perusahaan swasta. Makian dan hinaan dia lontarkan padaku. Tapi aku hanya membisu, kubiarkan dia berkeluh kesah. Setelah ia merasa puas, ia pun pergi. Kulihat dia berjalan dengan cepat, dengan muka memerah.

Keesokan harinya tiga gerombolan anak berpakaian putih biru, meghampiriku. Salah seorang darinya mencoret-coret tubuhku, bolpen warna-warninya mengotori rupaku. Dua temannya sedari tadi menekan-nekan tubuhku, entah apa maksud dari jari-jarinya itu.

Tiba-tiba mereka mengumpatku, itu karena aku tidak berfungsi untuk hari ini. Aku pikir aku sedang sakit saat ini. Anak-anak remaja itu menjauhiku lalu menghilang dari pelupuk mataku.

Sepasang kekasih menghampiriku, mereka tampak mesra. Kedua muda-mudi yang aku tahu berusia muda duduk dihadapanku, dari mata serta gerakan tubuhnya menyiratkan mereka sangat bahagia. Dunia milik mereka berdua ya mungkin, itu lah yang sering aku dengar. Berlalu mereka tanpa melihatku.

***

Ber rak-rak buku mengelilingiku, di samping ku terlihat bolpen, peta, kacamata, buku, beberapa lembar kertas dan daftar peminjam buku dari gedung ini. Seorang wanita tua duduk di depanku, memakai kacamatanya, lalu mengambil kertas dan memasukkannya kepadaku. Di atas kertas itu aku di pakainya, ketukan jari-jemarinya bekerja sangat cepat. Kutahu dia menulis kegalauannya, galau akan buku-buku yang dipinjam oleh peminjam yang tidak bertanggung jawab. Sesekali ia berhenti lalu melanjutkannya lagi, tahu sudah  bahwa wanita ini sedang curhat kepadaku. Tapi apalah aku, tidak dapat memberikan solusi.

Keesokan harinya, wanita tua itu melanjutkan curahan hatinya. Tampaknya ia sangat bahagia, karena dalam beberapa bulan ke depan, ia akan mengarungi hidup dengan belahan jiwanya. Senyum yang sedari tadi terlihat begitu menyejukkan. Tapi apalah aku tak berdaya menyuarakan kegembiraanku.

***

Kini aku sudah lapuk dan tak terpakai, wanita yang berkeluh kesah akan pekerjaannya, anak-anak berseragam putih biru dan sepasang kekasih muda tak terlihat lagi. Ku berdiri tidak sekokoh dulu, menunggu diriku termarjinalkan dari sisi aspal. 

Tidak ada curahan kesedihan dan kegembiraan yang ku dengar. Kini aku tergantikan, wanita tua yang dulu menyuarakan hatinya tidak memakaiku lagi. Di masukkan aku ke kardus dan dibawanyaku ke tempat yang tak teridentifikasi.


Rabu, 26 Desember 2012

Kakekku Karaeng

Sudah mendekati lebaran, seperti tahun-tahun sebelumnya kesepakatan antar kelurga untuk mengunjungi tao toa di kampung, kareang panri, kakekku. Dari namanya saja sudah tergambar beliau salah satu keturunan darah biru. Maka secara otomatis namaku ditempelkan Andi. Entahlah, aku sendiri tidak begitu ambil pusing dengan nama ini.

“Yang jelas namaku ada dan orang-orang memanggilku dengan namaku.” Jelasku pada teman-temanku.

“Kareng ita sudah datang, disambutku antusias beberapa orang kampung.”

Dengan sedikit punggung membungkuk dan kedua tangan bertautan, lalu menyalamiku.

“Iya,,,”

“Kareng..? geli juga dengarnya,  seharusnya mereka panggil kareang, ahh masa bodoh.” batinku

Habis menyelami beberapa tamu yang menyambt kedatanganku dari kota, aku segera mengunjungi karaeng Panri. Kulihat tubuh tinggi nya tergeletak di atas kasur bercorak Jawa, dibagian kepalanya ada dua bantal, Tongkat panjang berwarna hitam, berkepala Naga berdiri kokoh di samping tempat tidurnya. Kelopak mata masih tertutup dalam diamnya. Sedikit mulut terbuka. Kudekati dia dan kukecup kening kerutnya, sedikit berkeringat. Ternyata itu membangunkannya. Jadi merasa bersalah.

"Sudah datang, tanyanya lirih"

"Iyya atta,,,"

"Ayah dan kakakmu mana?"

"InsyaAllah besok datang."

Sudah kuduga, kalimat itu pasti keluarga dari mulutnya. Kami memang keluarga yang sangat sibuk, tinggal di kota metropolitan membuat kami kadang ogah pulang kampug sering. Bukan karena tak sayang, karena kesibukan. Ayahku seorang pengusaha real estate di Jakarta, memiliki tambang di kalimantan, dan kebun teh di Malino. Kakakku melanjutkan S2 di Jepang jurusan bisnis manajemen, aku juga sibuk menyelesaikan tugas akhirku di UI jurusan bisnis, dan terkadang juga membantu bisnis ayah yang ada di Jakarta. Ibuku, sudah meninggal akibat komplikasi penyakit.

Kehidupan moderniatas memaksa kami jarang bertemu dengan kakekku, Untunglah kami termasuk keluarga yang tidak over caring tanpa memperhatikan orang tua. Walau hanya bertemu setahun sekali, kami pasti menyempatkan menelpon beliau. Ayahku jangan Tanya setiap bulan pasti menelpon atau mengirimkan hadiah-hadiah ke kakekku.

“Jangan pernah lupakan orang tua, ridhonya adalah kesuksesanmu di dunia juga akhirat.”

***

Sore itu di temani sepeda ontel klasik milik nenekku dulu. 

Oh iya, nama nenekku karaeng Rannu, orangnya koro-koroang, kontra dengan kakekku yang humoris. Teringat sekali kalau mereka berbincang-bincang, tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba Karaeng Rannu moro-moro. Lucu.

“Kusuka karena nenekmu cantik dan kulitnya putih hahaha.” Kata kakeku tertawa

Kukayuh sepeda antik ini, beberapa tetangga yang melihatku memanggil namaku

“Kaaaaraaenng Itaaa,, minggaki eeee!!!!
            
“Iyaaa…!!!” Balasku teriak,,,,
           
 Kekeluargaan masih terasa sekali di kampung ini, ucapan seperti ini sering terdengar, baik itu untuk orang yang dikenal maupun tidak. Suasan desaku tidak jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, kecuali beberapa bangunan rumah penduduk yang mulai bertambah. peluh membasahi kerudung kremku, aku berhenti di salah satu toko, lalu membeli sebotol air putih. Segar! Sore ini tujuanku sudah tercapai, naik sepeda ontel milik nenek sambil melihat kabupaten herlang.

***

Esok harinya, ayah dan kakaku tiba, melalui rute Gowa-maros-Takalar-Jeneponto-Banteang-Bulukumba melewati 6 kabupaten cukup melelahkan bagi mereka. Sama halnya dengan kedatanganku pertama kali beberapa tetangga menyempatkan diri bertandang, menyalami tamu agung mereka. Penduduk kampung memang rasa penasarannya tinggi untuk hal-hal yang berbau kota. Penampilan, itu yang menarik.

“Tetta mana nak?”
            
“Di kamar yah.”

Mereka langusng berjalan memasuki kamar disusul kakak juga aku. Kebetulan saat itu tetta bangun, saudara perempuan ayahku dan satu anak kecil tetangga shift berada di sampingnya.          

Tetta,,, bagaimana kabarnya? Ayah meraih tangan teta lalu mengecupnya, kakaku juga ikutan.”

“Alhamdulillah Baik nak,,?”

Sudah tiga tahun anakta tidak pulang karena sibuk tetta, minta maafka”

Tidak apa-apa nak, tetta paham, anak sibuk, dan bersyukur anak tidak lupa dengan tetta walau sukses di luar sana.” Jelasnya

Penghuni kamar ikut haru melihat pertemuan anak dan ayahnya, ayah adalah anak yang paling di sayang oleh karaeng Panri, di antara empat saudara lainnya. Baktinya yang tinngi semasa muda hingga sekarang membuat cinta mereka mekar bagaikan bunga.

“Tetta beri nasehat buat anak, makin sukses makin taat pada orang tua, anak beri kebaikan bagi banyak orang untuk cari pahala, tidak usah jauh-jauh, cukup anak berbakti kepada orang tua”

“Iya tetta.”

Karaeng panri menderita lumpuh setengah badan, entah apa penyebabnya sudah lima tahun beliau berbaring di ranjang jatinya. Di rujuk ke rumah sakit beliau tidak ingin pemikiran konservatifnya berkata, riwayatnya akan cepat tamat jika berada di sana. Pendirinanya yang kuat, meluluhkan kami semua.

Lampu-lampu terbang tampak indah di gelapnya malam, seakan-akan berpesta. Tapi tidak untuk kami, malam tadi tadi karaeng panri sudah berteriak-teriak kesakitan pada bagian perutnya, terbakar terasa. Raungannya memekakkan malam, membuat rumah kayu ini dikunjungi beberapa penduduk desa. Teriakan ini tentunya mengagetkanku, ini pertama kalinya aku melihatnya, sangat mengerikan. Seakan-akan masa berlaku atta sudah di ujung tanduk.

“Aaaa,,,,ambilma puangg….!!! Ambilma,,,!!!” Teriaknya kesakitan

“Istigfar, atta astagfirullah astagfirullah!!! Tuntut saudara ayahku

Aku yang sedari tadi mematung melihat begitu mengerikan,

“Seperti ini kah bentuk tanda-tanda jiwa akan terbang bebas?” Batinku

Ku lihat ayah dan kakak serta dukun yang berada di sampinyanya terus membantu mengucapkan syahadat, mungkin menurut mereka inilah akhir hayat si Maha Kampung ini.

“Asss,,,,hadu alla ilaha ,,,,illall,,,,,aaaa,,,,”

Seketika teriakan dan ucapan syahadat terhenti seketika, benar dugaanku atta ku telah meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya.

“Atta,,, atta,,,uuuu,,uuu” tangis ayahku serta beberapa penduduk desa lainnya.

Embun hangat membasahi pipiku. 

***

Berbalik badanku kulihat dari kejauhan perkuburan tetta, gundukan pasir merah bata serta bunga warna-warni menghiasai kuburanya. Apakah tetta bisa mendengar langkah kaki para pelayat, atau apakah malaikat mungkar dan nakir sudah menghampirimu.

“Ita, ayo kita balik !!!” teriak kakakku

“Ya,,,ya kak.”

Kulangkah cepat kakiku, namun ku berbalik sekali lagi dan seketika melihat bayangan putih bercahaya memasuki perkuburan kakekku. Takjub serta takut hatiku.

“Ita ayoooo…!!!”

“Ya,,, yaaa…!!!”

“Semoga itu pertanda baik bagi atta.” Ucapku lirih sambil berlari meninggalkan perkuburan.           

***                                       

Lorong Waktu

Sudah beberapa bulan ini hujan turun membasahi bumi, udara pada malam hari ini terasa dingin. Ditemani segelas kopi cokelat sembari mendengar lagu Ibu yang dibawakan oleh penyanyi Sakha. Sebuah lagu dengan lirik sederhana namun tidak ada yang tidak mampu menekan sesaknya dada di kala mendengarnya, jika beruntung maka embun hangat akan membasahi pipi.

Memori mengajakku berjalan-jalan menelusuri lorong waktu melihat berbagai macam peristiwa dan tindakan-tindakanku dulu kepada wanita yang kusayangi di dunia, Ibu.

Jika kalian pernah melihat film yang menampilkan cuplikan masa lalu, di mana si pemerannya melihat dirinya sendiri, aku rasa seperti itulah gambarannya. 

Aku yang kini berdiri disebuah rumah sakit, tidak terlihat banyak orang, aku berjalan perlahan. Ku lihat dari kejauhan seorang gadis berkerudung ungu sedang berdiri.

“Itu aku...” Batinku

Tapi, sedikit aneh, dari raut wajahnya terlihat kesal. Setengah jam, aku mengamatinya. Tiba-tiba seorang wanita yang kira-kira berusia sekitar emput puluhan berjalan mendekatinya.

“Ibu!” batinku

Tiba-tiba suara meninggi terdengar dari bibir merahku.

"KENAPA IBU LAMA SEKALI!! SUDAH SETENGAH JAM SAYA MENUNGGU! KEGIATANKU TERHAMBAT KARENA MENGANTAR IBU KE TEMPAT INI!!!"

Aku terpaku, diam seribu bahasa. Ku lihat ibuku hanya terdiam, dan mematung. Sementara orang-orang disekitar rumah sakit tersebut kaget melihat adegan dramatisir tersebut, sangat memalukan sekali. Bagaikan film, cuplikan peristiwa demi peristiwa memperlihatkan sisi kelamku.

Aku pernah membentak ibu, aku pernah menghiraukan nasehatnya, aku pernah menyalahkan segala kesalahan anehnya, aku pernah tidak bersyukur dengan jerih payah beliau, akupun pernah mempermalukan beliau. Kepala dengan diameter kecil ini seakan-akan ingin meledak.. Aku yang lalu mendekatiku, lalu menghardik diriku.

“Anak durhaka kamu!”

Terpaku sejenak dalam lamunanku, sementara lagu ibu masih mengema di kamar tidurku yang membisu. Embun hangat mengalir semakin deras.

“Ibu maafkan anakmu ini yang durhaka, anakmu khilaf. Maafkan aku ibu!”

Kembali diriku membangunkan lamunanku dan mendengar suara :

“Bukankah kau tahu bahwa berkata ahh adalah sebuah kesalahan fatal? Bukankah kau tahu bahwa beliau telah mencurahkan segala jerih payahnya hanya untukmu seorang? Apa yang menjadikanmu menjadi anak yang keras hati?”

Kuhentikan sejenak jariku menekan-nekan keyboard laptop.

“Sesadis inikah diriku!” Batinku.

Kembali lorong waktu itu menarikku ke peristiwa lain, aku berdiri di ruang makan melihat dua wanita yang sedang menyiapkan makanan.

“Itu aku dan Ibu!” Batinku

Ku lihat di atas meja makan berukuran enam orang, tersedia berbagai macam menu, yang kutahu itu adalah hasil kreasi mereka, namun satu wajib pokok makanan yang terlihat hanya untuk sepiring, nasi!

“Makanlah duluan!”

“Ibu sendiri?” selahku

“Jika hanya nasi ini tersisa di dunia untuk mempertahankan hidup, maka makanlah. Ibu rela mengorbankan diri untukmu.”

Mendengar kalimat tersebut, bagaikan petir menghantam dadaku yang lalu dan dadaku saat ini. Butir-butir bening semakin membasahi pipiku. Memori itu menggembalikkanku, dan kuhentikan jari-jemariku menari-nari di keyboard. Puluhan peristiwa bengisku tertampilkan namun hanya satu peristiwa kebaikan Ibu mampu membuka mataku bahwa aku memang anak durhaka.

Seketika kuhentikan aktivitas menulisku lalu, berlari mencari orang kusayangi, kulihat ia, lalu kupeluk erat.

“Maafkan aku ibu, maafkan aku.”
 Jawabku lirih.

Tangisku meledak, dan hanya maaflah yang terus terlontar. Ibu yang awalnya terlihat bingung, mulai paham.

Ana uhibbuki fillah ya ibu.”

Ahabbakalladzi ahbab taniilah yaa anakku.” Jawabnya lembut

***