Halaman

Kakekku Karaeng

0 komentar

Sudah mendekati lebaran, seperti tahun-tahun sebelumnya kesepakatan antar kelurga untuk mengunjungi tao toa di kampung, kareang panri, kakekku. Dari namanya saja sudah tergambar beliau salah satu keturunan darah biru. Maka secara otomatis namaku ditempelkan Andi. Entahlah, aku sendiri tidak begitu ambil pusing dengan nama ini.

“Yang jelas namaku ada dan orang-orang memanggilku dengan namaku.” Jelasku pada teman-temanku.

“Kareng ita sudah datang, disambutku antusias beberapa orang kampung.”

Dengan sedikit punggung membungkuk dan kedua tangan bertautan, lalu menyalamiku.

“Iya,,,”

“Kareng..? geli juga dengarnya,  seharusnya mereka panggil kareang, ahh masa bodoh.” batinku

Habis menyelami beberapa tamu yang menyambt kedatanganku dari kota, aku segera mengunjungi karaeng Panri. Kulihat tubuh tinggi nya tergeletak di atas kasur bercorak Jawa, dibagian kepalanya ada dua bantal, Tongkat panjang berwarna hitam, berkepala Naga berdiri kokoh di samping tempat tidurnya. Kelopak mata masih tertutup dalam diamnya. Sedikit mulut terbuka. Kudekati dia dan kukecup kening kerutnya, sedikit berkeringat. Ternyata itu membangunkannya. Jadi merasa bersalah.

"Sudah datang, tanyanya lirih"

"Iyya atta,,,"

"Ayah dan kakakmu mana?"

"InsyaAllah besok datang."

Sudah kuduga, kalimat itu pasti keluarga dari mulutnya. Kami memang keluarga yang sangat sibuk, tinggal di kota metropolitan membuat kami kadang ogah pulang kampug sering. Bukan karena tak sayang, karena kesibukan. Ayahku seorang pengusaha real estate di Jakarta, memiliki tambang di kalimantan, dan kebun teh di Malino. Kakakku melanjutkan S2 di Jepang jurusan bisnis manajemen, aku juga sibuk menyelesaikan tugas akhirku di UI jurusan bisnis, dan terkadang juga membantu bisnis ayah yang ada di Jakarta. Ibuku, sudah meninggal akibat komplikasi penyakit.

Kehidupan moderniatas memaksa kami jarang bertemu dengan kakekku, Untunglah kami termasuk keluarga yang tidak over caring tanpa memperhatikan orang tua. Walau hanya bertemu setahun sekali, kami pasti menyempatkan menelpon beliau. Ayahku jangan Tanya setiap bulan pasti menelpon atau mengirimkan hadiah-hadiah ke kakekku.

“Jangan pernah lupakan orang tua, ridhonya adalah kesuksesanmu di dunia juga akhirat.”

***

Sore itu di temani sepeda ontel klasik milik nenekku dulu. 

Oh iya, nama nenekku karaeng Rannu, orangnya koro-koroang, kontra dengan kakekku yang humoris. Teringat sekali kalau mereka berbincang-bincang, tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba Karaeng Rannu moro-moro. Lucu.

“Kusuka karena nenekmu cantik dan kulitnya putih hahaha.” Kata kakeku tertawa

Kukayuh sepeda antik ini, beberapa tetangga yang melihatku memanggil namaku

“Kaaaaraaenng Itaaa,, minggaki eeee!!!!
            
“Iyaaa…!!!” Balasku teriak,,,,
           
 Kekeluargaan masih terasa sekali di kampung ini, ucapan seperti ini sering terdengar, baik itu untuk orang yang dikenal maupun tidak. Suasan desaku tidak jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, kecuali beberapa bangunan rumah penduduk yang mulai bertambah. peluh membasahi kerudung kremku, aku berhenti di salah satu toko, lalu membeli sebotol air putih. Segar! Sore ini tujuanku sudah tercapai, naik sepeda ontel milik nenek sambil melihat kabupaten herlang.

***

Esok harinya, ayah dan kakaku tiba, melalui rute Gowa-maros-Takalar-Jeneponto-Banteang-Bulukumba melewati 6 kabupaten cukup melelahkan bagi mereka. Sama halnya dengan kedatanganku pertama kali beberapa tetangga menyempatkan diri bertandang, menyalami tamu agung mereka. Penduduk kampung memang rasa penasarannya tinggi untuk hal-hal yang berbau kota. Penampilan, itu yang menarik.

“Tetta mana nak?”
            
“Di kamar yah.”

Mereka langusng berjalan memasuki kamar disusul kakak juga aku. Kebetulan saat itu tetta bangun, saudara perempuan ayahku dan satu anak kecil tetangga shift berada di sampingnya.          

Tetta,,, bagaimana kabarnya? Ayah meraih tangan teta lalu mengecupnya, kakaku juga ikutan.”

“Alhamdulillah Baik nak,,?”

Sudah tiga tahun anakta tidak pulang karena sibuk tetta, minta maafka”

Tidak apa-apa nak, tetta paham, anak sibuk, dan bersyukur anak tidak lupa dengan tetta walau sukses di luar sana.” Jelasnya

Penghuni kamar ikut haru melihat pertemuan anak dan ayahnya, ayah adalah anak yang paling di sayang oleh karaeng Panri, di antara empat saudara lainnya. Baktinya yang tinngi semasa muda hingga sekarang membuat cinta mereka mekar bagaikan bunga.

“Tetta beri nasehat buat anak, makin sukses makin taat pada orang tua, anak beri kebaikan bagi banyak orang untuk cari pahala, tidak usah jauh-jauh, cukup anak berbakti kepada orang tua”

“Iya tetta.”

Karaeng panri menderita lumpuh setengah badan, entah apa penyebabnya sudah lima tahun beliau berbaring di ranjang jatinya. Di rujuk ke rumah sakit beliau tidak ingin pemikiran konservatifnya berkata, riwayatnya akan cepat tamat jika berada di sana. Pendirinanya yang kuat, meluluhkan kami semua.

Lampu-lampu terbang tampak indah di gelapnya malam, seakan-akan berpesta. Tapi tidak untuk kami, malam tadi tadi karaeng panri sudah berteriak-teriak kesakitan pada bagian perutnya, terbakar terasa. Raungannya memekakkan malam, membuat rumah kayu ini dikunjungi beberapa penduduk desa. Teriakan ini tentunya mengagetkanku, ini pertama kalinya aku melihatnya, sangat mengerikan. Seakan-akan masa berlaku atta sudah di ujung tanduk.

“Aaaa,,,,ambilma puangg….!!! Ambilma,,,!!!” Teriaknya kesakitan

“Istigfar, atta astagfirullah astagfirullah!!! Tuntut saudara ayahku

Aku yang sedari tadi mematung melihat begitu mengerikan,

“Seperti ini kah bentuk tanda-tanda jiwa akan terbang bebas?” Batinku

Ku lihat ayah dan kakak serta dukun yang berada di sampinyanya terus membantu mengucapkan syahadat, mungkin menurut mereka inilah akhir hayat si Maha Kampung ini.

“Asss,,,,hadu alla ilaha ,,,,illall,,,,,aaaa,,,,”

Seketika teriakan dan ucapan syahadat terhenti seketika, benar dugaanku atta ku telah meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya.

“Atta,,, atta,,,uuuu,,uuu” tangis ayahku serta beberapa penduduk desa lainnya.

Embun hangat membasahi pipiku. 

***

Berbalik badanku kulihat dari kejauhan perkuburan tetta, gundukan pasir merah bata serta bunga warna-warni menghiasai kuburanya. Apakah tetta bisa mendengar langkah kaki para pelayat, atau apakah malaikat mungkar dan nakir sudah menghampirimu.

“Ita, ayo kita balik !!!” teriak kakakku

“Ya,,,ya kak.”

Kulangkah cepat kakiku, namun ku berbalik sekali lagi dan seketika melihat bayangan putih bercahaya memasuki perkuburan kakekku. Takjub serta takut hatiku.

“Ita ayoooo…!!!”

“Ya,,, yaaa…!!!”

“Semoga itu pertanda baik bagi atta.” Ucapku lirih sambil berlari meninggalkan perkuburan.           

***