Halaman

Lorong Waktu

0 komentar

Sudah beberapa bulan ini hujan turun membasahi bumi, udara pada malam hari ini terasa dingin. Ditemani segelas kopi cokelat sembari mendengar lagu Ibu yang dibawakan oleh penyanyi Sakha. Sebuah lagu dengan lirik sederhana namun tidak ada yang tidak mampu menekan sesaknya dada di kala mendengarnya, jika beruntung maka embun hangat akan membasahi pipi.

Memori mengajakku berjalan-jalan menelusuri lorong waktu melihat berbagai macam peristiwa dan tindakan-tindakanku dulu kepada wanita yang kusayangi di dunia, Ibu.

Jika kalian pernah melihat film yang menampilkan cuplikan masa lalu, di mana si pemerannya melihat dirinya sendiri, aku rasa seperti itulah gambarannya. 

Aku yang kini berdiri disebuah rumah sakit, tidak terlihat banyak orang, aku berjalan perlahan. Ku lihat dari kejauhan seorang gadis berkerudung ungu sedang berdiri.

“Itu aku...” Batinku

Tapi, sedikit aneh, dari raut wajahnya terlihat kesal. Setengah jam, aku mengamatinya. Tiba-tiba seorang wanita yang kira-kira berusia sekitar emput puluhan berjalan mendekatinya.

“Ibu!” batinku

Tiba-tiba suara meninggi terdengar dari bibir merahku.

"KENAPA IBU LAMA SEKALI!! SUDAH SETENGAH JAM SAYA MENUNGGU! KEGIATANKU TERHAMBAT KARENA MENGANTAR IBU KE TEMPAT INI!!!"

Aku terpaku, diam seribu bahasa. Ku lihat ibuku hanya terdiam, dan mematung. Sementara orang-orang disekitar rumah sakit tersebut kaget melihat adegan dramatisir tersebut, sangat memalukan sekali. Bagaikan film, cuplikan peristiwa demi peristiwa memperlihatkan sisi kelamku.

Aku pernah membentak ibu, aku pernah menghiraukan nasehatnya, aku pernah menyalahkan segala kesalahan anehnya, aku pernah tidak bersyukur dengan jerih payah beliau, akupun pernah mempermalukan beliau. Kepala dengan diameter kecil ini seakan-akan ingin meledak.. Aku yang lalu mendekatiku, lalu menghardik diriku.

“Anak durhaka kamu!”

Terpaku sejenak dalam lamunanku, sementara lagu ibu masih mengema di kamar tidurku yang membisu. Embun hangat mengalir semakin deras.

“Ibu maafkan anakmu ini yang durhaka, anakmu khilaf. Maafkan aku ibu!”

Kembali diriku membangunkan lamunanku dan mendengar suara :

“Bukankah kau tahu bahwa berkata ahh adalah sebuah kesalahan fatal? Bukankah kau tahu bahwa beliau telah mencurahkan segala jerih payahnya hanya untukmu seorang? Apa yang menjadikanmu menjadi anak yang keras hati?”

Kuhentikan sejenak jariku menekan-nekan keyboard laptop.

“Sesadis inikah diriku!” Batinku.

Kembali lorong waktu itu menarikku ke peristiwa lain, aku berdiri di ruang makan melihat dua wanita yang sedang menyiapkan makanan.

“Itu aku dan Ibu!” Batinku

Ku lihat di atas meja makan berukuran enam orang, tersedia berbagai macam menu, yang kutahu itu adalah hasil kreasi mereka, namun satu wajib pokok makanan yang terlihat hanya untuk sepiring, nasi!

“Makanlah duluan!”

“Ibu sendiri?” selahku

“Jika hanya nasi ini tersisa di dunia untuk mempertahankan hidup, maka makanlah. Ibu rela mengorbankan diri untukmu.”

Mendengar kalimat tersebut, bagaikan petir menghantam dadaku yang lalu dan dadaku saat ini. Butir-butir bening semakin membasahi pipiku. Memori itu menggembalikkanku, dan kuhentikan jari-jemariku menari-nari di keyboard. Puluhan peristiwa bengisku tertampilkan namun hanya satu peristiwa kebaikan Ibu mampu membuka mataku bahwa aku memang anak durhaka.

Seketika kuhentikan aktivitas menulisku lalu, berlari mencari orang kusayangi, kulihat ia, lalu kupeluk erat.

“Maafkan aku ibu, maafkan aku.”
 Jawabku lirih.

Tangisku meledak, dan hanya maaflah yang terus terlontar. Ibu yang awalnya terlihat bingung, mulai paham.

Ana uhibbuki fillah ya ibu.”

Ahabbakalladzi ahbab taniilah yaa anakku.” Jawabnya lembut

***