Sudah beberapa bulan ini hujan turun membasahi bumi, udara pada
malam hari ini terasa dingin. Ditemani segelas kopi cokelat sembari mendengar
lagu Ibu yang dibawakan oleh penyanyi Sakha. Sebuah lagu dengan lirik sederhana
namun tidak ada yang tidak mampu menekan sesaknya dada di kala mendengarnya,
jika beruntung maka embun hangat akan membasahi pipi.
Memori mengajakku berjalan-jalan menelusuri lorong waktu melihat berbagai macam peristiwa dan tindakan-tindakanku dulu kepada wanita yang kusayangi di dunia, Ibu.
Jika kalian pernah melihat film yang
menampilkan cuplikan masa lalu, di mana si pemerannya melihat dirinya sendiri,
aku rasa seperti itulah gambarannya.
Aku yang kini berdiri disebuah rumah
sakit, tidak terlihat banyak orang, aku berjalan perlahan. Ku lihat dari
kejauhan seorang gadis berkerudung ungu sedang berdiri.
“Itu aku...” Batinku
Tapi, sedikit aneh, dari raut wajahnya
terlihat kesal. Setengah jam, aku mengamatinya. Tiba-tiba seorang wanita yang
kira-kira berusia sekitar emput puluhan berjalan mendekatinya.
“Ibu!” batinku
Tiba-tiba suara meninggi terdengar dari
bibir merahku.
"KENAPA IBU LAMA SEKALI!! SUDAH
SETENGAH JAM SAYA MENUNGGU! KEGIATANKU TERHAMBAT KARENA MENGANTAR IBU KE TEMPAT
INI!!!"
Aku terpaku, diam seribu bahasa. Ku lihat
ibuku hanya terdiam, dan mematung. Sementara orang-orang disekitar rumah sakit
tersebut kaget melihat adegan dramatisir tersebut, sangat memalukan
sekali. Bagaikan film, cuplikan peristiwa demi peristiwa memperlihatkan
sisi kelamku.
Aku pernah membentak ibu, aku pernah
menghiraukan nasehatnya, aku pernah menyalahkan segala kesalahan anehnya, aku
pernah tidak bersyukur dengan jerih payah beliau, akupun pernah mempermalukan
beliau. Kepala dengan diameter kecil ini seakan-akan ingin meledak.. Aku yang
lalu mendekatiku, lalu menghardik diriku.
“Anak durhaka kamu!”
Terpaku sejenak dalam lamunanku, sementara
lagu ibu masih mengema di kamar tidurku yang membisu. Embun hangat mengalir
semakin deras.
“Ibu maafkan anakmu ini yang durhaka,
anakmu khilaf. Maafkan aku ibu!”
Kembali diriku membangunkan lamunanku dan
mendengar suara :
“Bukankah kau tahu bahwa berkata ahh
adalah sebuah kesalahan fatal? Bukankah kau tahu bahwa beliau telah mencurahkan
segala jerih payahnya hanya untukmu seorang? Apa yang menjadikanmu menjadi anak
yang keras hati?”
Kuhentikan sejenak jariku menekan-nekan
keyboard laptop.
“Sesadis inikah diriku!” Batinku.
Kembali lorong waktu itu menarikku ke
peristiwa lain, aku berdiri di ruang makan melihat dua wanita yang sedang
menyiapkan makanan.
“Itu aku dan Ibu!” Batinku
Ku lihat di atas meja makan berukuran enam
orang, tersedia berbagai macam menu, yang kutahu itu adalah hasil kreasi
mereka, namun satu wajib pokok makanan yang terlihat hanya untuk sepiring, nasi!
“Makanlah duluan!”
“Ibu sendiri?” selahku
“Jika hanya nasi ini tersisa di dunia
untuk mempertahankan hidup, maka makanlah. Ibu rela mengorbankan diri untukmu.”
Mendengar kalimat tersebut, bagaikan petir
menghantam dadaku yang lalu dan dadaku saat ini. Butir-butir bening semakin
membasahi pipiku. Memori itu menggembalikkanku, dan kuhentikan jari-jemariku
menari-nari di keyboard. Puluhan peristiwa bengisku tertampilkan namun hanya
satu peristiwa kebaikan Ibu mampu membuka mataku bahwa aku memang anak durhaka.
Seketika kuhentikan aktivitas menulisku
lalu, berlari mencari orang kusayangi, kulihat ia, lalu kupeluk erat.
“Maafkan aku ibu, maafkan aku.” Jawabku lirih.
Tangisku meledak, dan hanya maaflah yang
terus terlontar. Ibu yang awalnya terlihat bingung, mulai paham.
“Ana uhibbuki fillah ya ibu.”
“Ahabbakalladzi ahbab taniilah yaa
anakku.” Jawabnya lembut
***