Kemarin
aku mengikuti sebuah seminar nasional yang pembicaranya adalah Taufik Ismail,
sastrawan ulung yang telah menelurkan banyak karya. Singkatnya, aku
tiba di tempat seminar kurang lima belas menit dari jam yang tertera di tiket,
walhasil ekspektasi untuk duduk di bagian depan sudah terkalahkan dengan
gerombolan ratusan peserta lainnya, lalu kuputuskanlah untuk duduk di sayap kiri
tengah gedung, sangat jauh memang, ditambah lagi mata yang tidak bersahabat. Tentunya, seperti biasa jam ala orang Indonesia pasti molor, bayangkan saja, seminar baru di mulai hampir dua jam, butuh kesabaran menunggu sang maestro tapi tidak apa-apalah ini kesempatan emas,
tak boleh dilewatkan, berapa jam pun kujabanin, jarang-jarang loh.
Pukul
sepuluh, sang sastrawanpun tiba dengan gagahnya didampingi beberapa petinggi
universitas, penari serta musik khas Makassar. Kebiasaan jelek para peserta
seminar adalah mereka kayak melihat dewa dewi turun dari kuil Olimpus Yunani, berdiri
ditempat duduknya, bahkan ada yang naik ke kursi lalu mengambil ponsel, dan
jepret jepret piece. Menurutku ini benar-benar memalukan, bertingkahlah biasa,
toh juga nanti pembicara duduk di pondium yang sudah disediakan dengan
cantiknya.
Setelah
rangkaian acara pembuka lainnya usai, tibalah sang maestro disilakan untuk
merangkai kata dihadapan banyak penghuni aula, dengan khasnya ia berdiri, maju
beberapa sentimeter, dan suaranya yang terdengar sexy menurutku membius hati, untaian
kata mengalir jernih, jelas juga jelita di telinga, sekitar enam atau tujuh
puisi ia bawakan dan seluruh puisi itu bernuansa religi, menurutku memang
mendukung karena tempat digelarnya seminar ini di kampus bernuansa islami, Unismuh men!
Singkat
cerita, tibalah sesi tanya jawab, lima orang penanya diberi kesempatan untuk
berdialog, tanpa ba bi bu segera kuangkat tangan dengan tinggi sambil berdiri “Jilbab warna pink” ucap moderatonya, senangnya hatiku, riang, dan
gembira merangsang sekujur tubuh, nomor antriku yang terakhir tapi aku ra po po yang penting bisa bertanya.
Berbagai
macam pertanyaan dari tiap penanya, semuanya berbobot dengan kata-kata intelek,
sempat jatuh juga mendengarnya, karena kalau dibandingkan pertanyaanku, glek
telen ludah, tetapi sudahlah, katakan apa yang kamu butuhkan, see it
let it flow, dan asal tahu saja, aku penanya wanita seorang ditambah lagi, letak mic berada di sudut, tak terlihat dari moderator, kecuali ia membalikkan badan, andai tidak kubersuara, si moderator sudah pasti melupakanku, sedihnya lagi
kesempatanku bertanya sempat di tangguhkan beberapa menit, tapi sang maestro
sungguh baik hati dan tidak sombong, ia menegur moderator lalu menunjukku
dengan tangannya untuk dipersilahkan bersuara, pastinya senangnya hatiku, riang, dan
gembira.
Isi
pertanyaanku kurang lebih seperti "Bagaimana membangun sisi emosional jika
menulis puisi hingga seseorang yang membacanya tersentuh, seperti karya pak
Taufik Ismail." sempat beberapa kali ditegur karena volume suara yang kecil, maklum inilah kebiasaan jelekku, kesulitan membesarkan suara di depan mic, bukan
karena canggung, tapi memang dasarnya seperti itu.
Setelah semua pertanyaan dikumpul, kemudian beliau menjawab bertahap secara aktual, tajam dan terpercaya. Sampai tiba giliran pertanyaanku, beliau berkata "saya kurang begitu jelas, tidak
terdengar suaranya" toeng toeng meringis men, pasti pertanyaannya
dibatalkan, apalagi waktu sudah hampir memasuki sholat dhuhur pasrah
saja deh batinku saat itu, tapi lagi lagi sang maestro menunjukkan sikap baik hati dan tidak
sombong.
Beliau
mencari posisiku,
“Mana tadi yang bicara” tanyanya melalui mic,
kuangkat tangan tinggi, tapi karena tidak terlihat, kuberdiri dan semua mata
tertuju padaku.
Kembali ia bertanya
"Bisa diulangi pertanyaannya"
Glek, mic nya di depan pak, butuh beberapa menit untuk bersuara, kurasa juga moderator sadar waktu, jadi ia langsung bilang "Ia bertanya kiat-kiat menulis." What? Jauh sekali perbedaan pertanyaannya, tetapi sudahlah, kuangguk saja dan dimulailah dialog singkatku, gambarannya seperti ini.
Glek, mic nya di depan pak, butuh beberapa menit untuk bersuara, kurasa juga moderator sadar waktu, jadi ia langsung bilang "Ia bertanya kiat-kiat menulis." What? Jauh sekali perbedaan pertanyaannya, tetapi sudahlah, kuangguk saja dan dimulailah dialog singkatku, gambarannya seperti ini.
"Apa
kamu ingin jadi penulis?" tanyanya
"Iya”
jawabku dengan anggukan
"Semestinya
pemerintah memberimu buku 25 buah setiap bulannya, karena rahasia menjadi
penulis itu membaca juga menulis dengan banyak dan bla bla bla." Tentunya
nasehatnya kuperhatikan, kubuat setiap apa yang dia ucapkan tidak luput dari
pendengaranku, lucunya aku masih tetap berada dengan posisiku, berdiri. Sadar
karena dilihat banyak orang jadi kupilih untuk duduk.
Lalu
tak lama kemudian, kembali pak Taufik mencariku, sontak aku berdiri lagi lalu
ia bertanya
"Dalam
sebulan, berapa buku yang kamu baca?"
Kuberi
ia tanda piece, how pathetic
"Bagus" ucapnya mantap
Lalu
kembali ia menceramahi lagi, tidak lupa ia juga berpesan untuk menyediakan sebuah buku khusus untuk mencatat setiap kegiatanku. Kembali ku duduk, dan tidak lama
lagi ia bertanya, lalu berdiri lagi, tensin bro.
"Dua
buku yang kamu baca, jadikan ia dalam seminggu? Bisa?" dengan
kikuk, kugoyangkan kepala, wajar saja ragu toh standar dua buku bacaan itu khusus buku tebal dengan tingkatan kesulitan tata bahasa.
"Pasti
bisa." beliau menyakinkanku dan
kali ini kugoyangkan kepala dengan keras
"Alhamdulillah”
jawabnya lega
Ya Tuhan, bisakah aku? tapi jika Taufik Ismail saja bilang seperti itu, lalu kenapa ragu, ok gilas abis. Jangankan dua buku perminggu, lebih dari itu aku bisa, asalkan persediaan bukunya menggunung, haihai.
Ya Tuhan, bisakah aku? tapi jika Taufik Ismail saja bilang seperti itu, lalu kenapa ragu, ok gilas abis. Jangankan dua buku perminggu, lebih dari itu aku bisa, asalkan persediaan bukunya menggunung, haihai.
Am
i dreaming? Or is it halutination? Pikirku sewaktu rangkaian acara usai *lebay
Hatiku
terkejut bagai dikontak listrik
Rupamu
menua tapi suara memuda
Tergelitik
hati ingin mendekat
Tapi
kau jauh terlihat dari layar persegi panjang
Batin
memohon meminta bertemu
Ketatapan
Ilahi memang terbukti melihatmu
Hingga
mimpi itu jadi nyata dipelupukku
Sebab
hari senin jadi saksiku