Halaman

Selasa, 29 April 2014

Short Dialog dengan Taufik Ismail


Kemarin aku mengikuti sebuah seminar nasional yang pembicaranya adalah Taufik Ismail, sastrawan ulung yang telah menelurkan banyak karya. Singkatnya, aku tiba di tempat seminar kurang lima belas menit dari jam yang tertera di tiket, walhasil ekspektasi untuk duduk di bagian depan sudah terkalahkan dengan gerombolan ratusan peserta lainnya, lalu kuputuskanlah untuk duduk di sayap kiri tengah gedung, sangat jauh memang, ditambah lagi mata yang tidak bersahabat. Tentunya, seperti biasa jam ala orang Indonesia pasti molor, bayangkan saja, seminar baru di mulai hampir dua jam, butuh  kesabaran menunggu sang maestro tapi tidak apa-apalah ini kesempatan emas, tak boleh dilewatkan, berapa jam pun kujabanin, jarang-jarang loh. 

Pukul sepuluh, sang sastrawanpun tiba dengan gagahnya didampingi beberapa petinggi universitas, penari serta musik khas Makassar.  Kebiasaan jelek para peserta seminar adalah mereka kayak melihat dewa dewi turun dari kuil Olimpus Yunani, berdiri ditempat duduknya, bahkan ada yang naik ke kursi lalu mengambil ponsel, dan jepret jepret piece. Menurutku ini benar-benar memalukan, bertingkahlah biasa, toh juga nanti pembicara duduk di pondium yang sudah disediakan dengan cantiknya. 

Setelah rangkaian acara pembuka lainnya usai, tibalah sang maestro disilakan untuk merangkai kata dihadapan banyak penghuni aula, dengan khasnya ia berdiri, maju beberapa sentimeter, dan suaranya yang terdengar sexy menurutku membius hati, untaian kata mengalir jernih, jelas juga jelita di telinga, sekitar enam atau tujuh puisi ia bawakan dan seluruh puisi itu bernuansa religi, menurutku memang mendukung karena tempat digelarnya seminar ini di kampus bernuansa islami, Unismuh men! 

Singkat cerita, tibalah sesi tanya jawab, lima orang penanya diberi kesempatan untuk berdialog, tanpa ba bi bu segera kuangkat tangan dengan tinggi sambil berdiri “Jilbab warna pink” ucap moderatonya, senangnya hatiku, riang, dan gembira merangsang sekujur tubuh, nomor antriku yang terakhir tapi aku ra po po yang penting bisa bertanya.

Berbagai macam pertanyaan dari tiap penanya, semuanya berbobot dengan kata-kata intelek, sempat jatuh juga mendengarnya, karena kalau dibandingkan pertanyaanku, glek telen ludah, tetapi sudahlah, katakan apa yang kamu butuhkan, see it let it flow, dan asal tahu saja, aku penanya wanita seorang ditambah lagi, letak mic berada di sudut, tak terlihat dari moderator, kecuali ia membalikkan badan, andai tidak kubersuara, si moderator sudah pasti melupakanku, sedihnya lagi kesempatanku bertanya sempat di tangguhkan beberapa menit, tapi sang maestro sungguh baik hati dan tidak sombong, ia menegur moderator lalu menunjukku dengan tangannya untuk dipersilahkan bersuara, pastinya senangnya hatiku, riang, dan gembira.

Isi pertanyaanku kurang lebih seperti "Bagaimana membangun sisi emosional jika menulis puisi hingga seseorang yang membacanya tersentuh, seperti karya pak Taufik Ismail." sempat beberapa kali ditegur karena volume suara yang kecil, maklum inilah kebiasaan jelekku, kesulitan membesarkan suara di depan mic, bukan karena canggung, tapi memang dasarnya seperti itu. 

Setelah semua pertanyaan dikumpul, kemudian beliau menjawab bertahap secara aktual, tajam dan terpercaya. Sampai tiba giliran pertanyaanku, beliau berkata "saya kurang begitu jelas, tidak terdengar suaranya" toeng toeng meringis men, pasti pertanyaannya dibatalkan, apalagi waktu sudah hampir memasuki sholat dhuhur pasrah saja deh batinku saat itu, tapi lagi lagi sang maestro menunjukkan sikap baik hati dan tidak sombong.
           
Beliau mencari posisiku, 

“Mana tadi yang bicara” tanyanya melalui mic,  kuangkat tangan tinggi, tapi karena tidak terlihat, kuberdiri dan semua mata tertuju padaku. 

Kembali ia bertanya 

"Bisa diulangi pertanyaannya" 

Glek, mic nya di depan pak, butuh beberapa menit untuk bersuara, kurasa juga moderator sadar waktu, jadi ia langsung bilang "Ia bertanya kiat-kiat menulis." What? Jauh sekali perbedaan pertanyaannya, tetapi sudahlah, kuangguk saja dan dimulailah dialog singkatku, gambarannya seperti ini.

"Apa kamu ingin jadi penulis?" tanyanya

"Iya” jawabku dengan anggukan

"Semestinya pemerintah memberimu buku 25 buah setiap bulannya, karena rahasia menjadi penulis itu membaca juga menulis dengan banyak dan bla bla bla." Tentunya nasehatnya kuperhatikan, kubuat setiap apa yang dia ucapkan tidak luput dari pendengaranku, lucunya aku masih tetap berada dengan posisiku, berdiri. Sadar karena dilihat banyak orang jadi kupilih untuk duduk. 

Lalu tak lama kemudian, kembali pak Taufik mencariku, sontak aku berdiri lagi lalu ia  bertanya

"Dalam sebulan, berapa buku yang kamu baca?"

Kuberi ia tanda piece, how pathetic 

"Bagus" ucapnya mantap

Lalu kembali ia menceramahi lagi, tidak lupa ia juga berpesan untuk menyediakan sebuah buku khusus untuk mencatat setiap kegiatanku. Kembali ku duduk, dan tidak lama lagi ia bertanya, lalu berdiri lagi, tensin bro. 

"Dua buku yang kamu baca, jadikan ia dalam seminggu? Bisa?" dengan kikuk, kugoyangkan kepala, wajar saja ragu toh standar dua buku bacaan itu khusus buku tebal dengan tingkatan kesulitan tata bahasa. 

"Pasti bisa." beliau menyakinkanku dan kali ini kugoyangkan kepala dengan keras 

"Alhamdulillah” jawabnya lega

Ya Tuhan, bisakah aku? tapi jika Taufik Ismail saja bilang seperti itu, lalu kenapa ragu, ok gilas abis. Jangankan dua buku perminggu, lebih dari itu aku bisa, asalkan persediaan  bukunya menggunung, haihai. 

Am i dreaming? Or is it halutination? Pikirku sewaktu rangkaian acara usai *lebay

Hatiku terkejut bagai dikontak listrik
Rupamu menua tapi suara memuda
Tergelitik hati ingin mendekat
Tapi kau jauh terlihat dari layar persegi panjang

Batin memohon meminta bertemu
Ketatapan Ilahi memang terbukti melihatmu
Hingga mimpi itu jadi nyata dipelupukku
Sebab hari senin jadi saksiku

Selasa, 22 April 2014

Tebar Senyum


Seakan deretan gigimu tak henti terbuka
Pipimu mengembang bak kue Bakpao
Matamu bahkan tak terlihat
Hingga suaramu cekikan tersembur keluar

Seakan terlepas semua bebanmu
Lega melewati lika liku hidupmu
Beban banyak tak terhingga menyapamu
Kini lepas tak tersisa sedikitpun bersamamu

Padahal orang mengenalmu angkuh
Misterius bak gangster
Pedis dikala berpendapat
Menjauh menyendiri memeluk sepi

Hidup
Kini mengajar arti kata hatimu
Lebih terbuka sampai tahu siapa kawanmu
Memberi kepercayaan untuk membentuk jiwamu

Tetaplah begitu sampai kapanpun
Jangan biarkan aura hitam memburu
Kunci dia dengan bahagiamu
Sebab kini semua orang tenteram dekatmu